Pages

Jumat, 24 September 2010

Tafsir Surat Al Baqarah 183

Tafsir Surat Al Baqarah 183: “Berpuasa Menggapai Takwa”

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

Wahai orang-orang yang beriman

Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].

Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:

وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.

Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر

Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Telah diwajibkan atas kamu berpuasa

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian

Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Agar kalian bertaqwa

Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ

Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah[15].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)

Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:

  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]

Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55

[2] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409

[3] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497

[4] HR. Muslim no.102, 108

[5] Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149

[6] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272

[7] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500

[8] Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21

[9] Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121

[10] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497

[11] Lihat Ad Durr Al Masun karya As Samin Al Halabi hal 138, dan Al Itqan Fii Ulumil Qur’an karya As Suyuthi hal 504

[12] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413

[13] Ma’alim At Tanziil, 1/196

[14] Tafsir Al Jalalain, 1/189

[15] Siyar A’lamin Nubala, 8/175

[16] Taisir Kariimir Rahman, 1/86

www.muslim.or.id

Rabu, 02 Juni 2010

TAWAKAL


Tawakkal artinya berpasrah diri kepada Allah setelah melakukan upaya-upaya secara maksimal. Kita hidup di dunia jika menginginkan sesuatu maka ia harus berusaha untuk menggapainya. Meski demikian, usaha kita tidak sepenuhnya menentukan, karena banyak faktor lain yang ikut bermain, misalnya faktor kebetulan, faktor yang dipercaya sebagai keberuntungan, faktor doa dan sebagainya. Orang yang menyombongkan keberhasilannya sebagai usaha sendiri termasuk orang yang buruk akhlaknya terhadap Allah, dan bahkan bisa terperangkap ke dalam syirk khofiy. Seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang bekerja keras untuk menggapai apa yang diinginkannya dengan mengikuti prosedur yang wajar (menggunakan management usaha), tetapi ia tetap meyakini bahwa keberhasilan usahanya ditentukan oleh Allah Yang Maha Pengatur. Ia yakin betul bahwa upaya dan kekuatan itu tidak efektif tanpa izin Allah, la hauls wala quwwata ills billah al'Aliy al 'Aziem.

Pengertian tawakkal difahami dari hadis yang berbunyi I'qilha wa tawakkal. Dikisahkan bahwa ada seseorang baru datang dari luar kota menemui Rasulullah. Beliau menanyakan apakah ontanya diikat (di parkir secara benar dan dikunci). Orang itu menjawab: Tidak ya Rasulullah, saya tawakkal saja kepada Allah. Rasul lalu menegurnya; (jangan begitu), ikat dulu untamu secara benar, baru engkau bertawakkal kepada Allah. Dari hadis itu dapat difahami bahwa kepercayaan kepada Allah sebagai Yang Maha Kuasa , Maha Pengatur dan Maha Penentu tidak mengurangi professionalitas dan rasionalitas usaha.

Tingkat kemampuan seseorang untuk bertawakkal kepada Allah berhubungan juga dengan tingkat ketauhidannya. Imam Gazali menggambarkan tingkat-tingkat tawakkal dengan perumpamaan sebagai berikut:

Jika engkau mau pergi ke padang pasir gersang, maka engkau harus mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan di sana, makanan, minuman, tenda, kendaraan dan sebagainya. Jika sudah lengkap berangkatlah anda dengan bertawakkal kepada Allah. Jika tidak lengkap jangan berani nekat, karena di sana alamnya sangat kejam. Ini adalah tawakkal tingkat terendah.

Jika engkau akan pergi ke hutan tetapi tidak ada bekal makanan, yang ada hanya alat berburu (senapan, pisau,korek dan termos air), berangkat sajalah dengan tawakkal kepada Allah, Insya Allah anda bisa menemukan bahan makanan disana. Ini adalah bentuk tawakkal orang yang telah memiliki ketrampilan tertentu.

Jika anda tidak memiliki bekal apapun, tetapi anda harus pergi juga ke suatu tempat, maka pergilah dengan tawakkal kepada Allah, asal tempat yang anda tuju itu masih ada atau banyak orang. Tawakkal tingkat ini masih rasional karena sifat sosial masyarakat akan dapat menjadi tumpuan hidupnya.

Meski anda tidak mempunyai bekal apapun, dan di tempat yang anda tuju tidak juga ada persediaan bekal, sedang anda tidak bisa menghindar dari keharusan untuk pergi ke tempat itu, maka pergilah dengan bertawakkal kepada Allah. Insya Allah Dia akan memberi apa yang anda butuhkan. Tawakkal tingkat ini adalah tawakkalnya kaum khowash, orang yang sebenar-benarnya bertauhid, karena ia telah mencapai tingkat ketaqwaan yang meyakini betul bahwa Allah Maha Kuasa mengadakan yang tiada, mengembalikan yang hilang, memberi rizki kepada seluruh hamba Nya dimanapun ia hidup, dan maka Pengasih lagi Penyayang kepada makhlukNya.

Tawakkal merupakan wujud akhlak kita kepada Allah, yang oleh karena itu perbuatan itu bernilai ibadah. Secara psikologis, orang yang bertawakkal dapat terhindar dari perasaan kecewa berkepanjangan jika menghadapi kegagalan, dan terhindar dari rasa sombong jika memperoleh keberhasilan, karena ia menempatkan diri sebagai hamba yang berprasangka baik terhadap kehendak Allah. Orang yang sudah bisa bertawakkal, jika ia sukses dalam suatu hal, disamping ia mengucapkan syukur kepada Allah, ia juga bertanya-tanya dalam hatinya, jangan-jangan kesuksesan ini merupakan cobaan dari Allah.

Sebaliknya jika setelah bekerja keras secara benar untuk menggapai apa yang diinginkan tetapi mengalami kegagalan, maka ia menyalahkan diri sendiri dan mengembalikan persoalannya kepada Allah Yang Maha Pengatur serasa berprasangka bahwa kegagalan itu merupakan rahmat Allah, karena boleh jadi di mata Allah ia belum layak menerima apa yang diinginkannya. Di satu sisi, tawakkal adalah juga merupakan bentuk tawaddu' atau rendah hati seorang hamba kepada Sang Khaliq. Orang yang bertawakkal pada umumnya juga ridla (puas) atas apapun yang diterimanya dari Allah, baik yang bersifat peningkatan maupun yang bersifat penurunan, karena ia memahami makna pemberian Allah.

TAFSIR AKHIRAT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam memandang hidupnya manusia terbagi dua, yaitu; pandangan hidup ukhrowinya dan pandangan hidup duniawinya. Pandangan hidup ukhrowiyah adalah pandangan bahwa hidup adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah dengan menjalankan fungsi peran yang diamanahkan Allah agar selamat di dunia dan akhirat dalam keridhoannya.

Sedangakan pandangan hidup dunia adalah; memandang hidup dunia ini sebagai kehidupan terakhir tanpa adanya pertanggungjawaban di akhirat atau memandang kehidupan di dunia tidak berhubungan dengan kehidupan di akhirtat atau ada hubungan, tetapi dalam pandangan yang sempit dan parsial atau akhirat tidak dipandang sebagai kehidupan sesungguhnya.

Memilih kehidupan ukhrowiyah adalah wajib berdasarkan dalil al-Quran surat albaqarah ayat 3-4

“. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.4. yang menguasai[4] di hari Pembalasan”

Kalau memahami hidup untuk ibadah, maka memandang kehidupan di dunia harus dengan pemahaman bahwa hidup di dunia itu adalah menjalankan kewajiban seperti yang diperintahkan, lalu kita akan segera kembali ketempat tinggal sebenarnya. Ini yang disebut dengan orientasi hidup. Orientasi hidup bisa juga disebut dengan tujuan hidup artinya hidup dan kehidupan di dunia wajib ditunjukan untuk kehidupan yang hakiki,

Kehidupan yang sebenar-benarnya dan selama-lamanya, kehidupan yang kekal abadi yaitu Negara akhirat.

Sehingga supaya manusia hidup dan kehidupannya berorientasikan ukhrowi, maka Allah telah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan al-Quran sebagai hudan atau petunjuk hidup manusia yang benar yang dijalankan oleh Rasulullah supaya dalam memandang hidup dan kehidupan sesuai dengan kehendak Allah.

Rasul adalah penafsir pertama terhadap al-Quran serta memberikan penjelsan mengenai pelaksanaan perintah yang terkandung dalam al-Quran, dan langsung memberikan contoh bagaimana al-quran itu dilaksanakan, sehingga ketika Rasulullah masih hidup tidak begitu banyak penafsiran terhadap al-Quran karena Rasul langsung memprkatekannya. Tetapi setelah Rasulullah itu wafat permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, maka orang-orang yang hafal dan memahami al-Quran bisa memberikan penjelaasan lebih banyak mengenai al-Quran dengan landasan penafsiran yang dilakukan oleh Rasul serta apa-apa yang dilakukan masyarakat di sekitar Rasulullah. Sihingga muncullah para mufasir untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran.

B. Perumusan Masalah

Ingin mengetahui penafsiran dari para mufasir tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan akhirat.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan masalah akhirat.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Quran Surat al-Qhashs ayat 77

77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Penafsirannya

Menurut kebanyakan ulama ahli tafsir,dalam ayat sebelumnya ayat 76. Karun yang dikisahkan dalam beberapa ayat ini adalah saudara sepupu Nabi Musa a.s akan tetapi ia bersikap munafik terhadap Nabi Musa dan menjadi binasa karena kemunafikannya dan sikap sombongnya sehubungan dengan kekayaan yang melimpah ruah yang dikaruniakan Allah kepadanya, yang karena sangat besarnya kekayaan dan pembendaharaan yang ia miliki, sampai-sampai kunci-kunci khajanahnya bila ia keluar, harus dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Ia di neri nasihat oleh beberapa orang dari kaumnya yang berkata kepadanya: “janganlah engkai terlalu bangga dan gembira dengan apa yang engkau miliki sehingga engkau melampui batas dan lupa daratan, sesungguhnya Allah tidaj menyukai orang-orang yang membanggakan diri dan tidaj bersykur kepada Allah yang telah memberikan nimat itu kepadanya. Dan hendaklah engkau gunakan kekayaan yang Allah berikan kepadamu itu untuk beribadah kepada Tuhanmu dan berbuat baik kepada sesame manusia dengan jalan menafkahkan sebagai dari harta kekayaanmu untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolonganmu dan di samping itu janganlah engkau melupakan bagianmu dari kanukmatan duniawi yang diperkenankan oleh Allah berupa makanan, minuman, pajaian, perkawinan dan perumahan, asalkan saja jangan sampai melampaui batas. Dan janganlah engkau dengan klekayaanmu itu berbuat kerusakan dan berlaku sewenang-wenang di atasbumi Allah ini, krana Allah sekali-kali tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

B. Al-Quran Surat at-Taubah ayat 38

38. Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.

Penafsirannya

Ayat ini adalah semacam sesalan dari pihak Allah swt. Terhadap para mukmin yang telah absen dan tidak turut serta bersama Rasululah SAW. Dalam perang Tabuk yang terjadi pada musim panas dan buah-buahan yang lejat-lejat. Allah berpirman “Mengapa kamu jika di himbau dan di ajak untuk berjihad di jalan Allah, kamu bermalas-malas dan merasa berat meninggalkan kehidupanmu yang santai dan senang. Kesenagan itu hanyalah berangkat bersama rasululah saw. Melaksanakan perang jihad. Apakah kamu merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan akhiratmu kelak, padahal kehidupan di dunia itu di bandingkan dengan kehidupan akhirat adalah sangat tidak bararti.

Di riwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mustaurid, bahwa Rasululah saw. Bersabda: yang artinya “perbandingan ( kehidupan ) di dunia dengan ( kehidupan ) di akhirat adalah seperti seorang di antara kamu mencabut jari telunjuknya di dalam air laut, maka hendaklah di lihatnya dengan apa kembali jari telunjuk itu!”

Berkata Al-Amasy tentang ayat ini “kehidupan di dunia itu adalah hanya seperti bekalnya seorang musafir.”

Di kisahkan oleh Abu Hazim, bahwa tatkala Abdul Aziz bin Marwan mendekati ajalnya, ia minta di perlihatkan kain kapan yang akan di kenakan padanya jika ia sudah wafat. Maka ketika di perlihatkan kepadanya, ia mengawasi kain kapan itu seraya berkata. “Oh dunia,sungguh sangat sedikit banyakmu dan sungguh pendek sedikitmu, dan sesungguhnya kami semua terbujuk olehmu.”

Allah mengancam orang-orang yang enggan berjihad memenuhi seruan dan himbauan Rasululah saw. Akan di beri siksa yang pedih, dan Allah akan menggantikan mereka dengan kaum lain untuk menolong Nabi-Nya menegakan Agama Allah dan sekali-kali tidak aka ada mudharat sedikit pun bagi Allah karena keengganan mereka berjihad. Karena Allah adalah Mahakuasa untuk menggalahkan dan menghancurkan musuh-musuh agama-nya walaupun tanpa ikut serta mereka.

C. Al-Quran Surat Ad-Duha ayat 4

“ dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”(ayat 4)

Penafsiran

Janganlah berduka cita jika kadang-kadang terlambat datang wahyu itu kepadamu. Menurut tafsiran dari al-Qasimi;” Yang di ujung pekerjaanmu ini akan lebih baik dari permulaannya.” Artinnya jika di permulaan ini kelihatan agak sendat jalannya, banyak tantangan dan perlawanan. Namun akhir kelak-nya engkau akan mendapat hasil yang gilang-gemilang.

Dengan ayat ini di berikanlah kepada Rasul saw dan kepada orang yang menyambung usaha Rasul sebagai tuntunan hidup, agar merasa besar hati dan besar harapan melihat masa depan. Meskipun perjuangan itu dimulai dengan serba kesusahan, namun pada akhirnya kelak akan di dapat hasil yang baik. Dan ini bertemu dalam sejarah kebangkitan Islam.

Asal pekerjaan telah di mulai, akhir pekerjaan niscaya akan mendapati yang lebih baik dari pada yang permulaan. Yang poko ialah keteguhan niat dan azam di sertai pula dengan doa.

D. Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 86

86. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.

Pnafsirannya

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”(pangkal ayat 86).Alangkah tepat ungkapan ini untuk merebut hidup dan kemegahan dunia yang pana, kedudukan pendeta-pendeta, ketinggian dalam pandangan masyarakat pengikut yang bodoh-bodoh, mereka lemparkan isi taurat mereka oleh karena kalau dituruti isi taurat pegangan itu sebenar-benarnya niscaya mereka menerima al-quran dan mengikuti Nabi s.a.w. Kalau isi taurat dan al-quran itu mereka ikuti, selamatlah mereka dunia dan akhirat. Apalah lagi diakhirat. Tetapi mereka tidak mau menerima kebahagiaan akhirat itu. untuk mempertahankan kemegahan dunia. Akhirnya akhirat tidak dapat,dunia yang dipertahankan itu hilang pula dari tangan.”maka tidaklah akan diringankan bagi mereka siksaan itu.” Baik siksaan dunia dengan kekalahan mereka yang berturut-turut, sehingga akhirnya di jaman khalifah Umar bin Khathab, sisa-sisa mereka yang tinggalpun di sapu bersih, tidak boleh seorang juapun tinggal di Zazirah Arab. Padahal tidaklah mereka di paksa sekali juga masuk islam, bahkan mereka diberi kehormatan sebagai “Ahlul Kitab”.Diakhiratpun niscahya azab itu tidak juga akan diringankan.”dan tidaklah mereka akan ditolong.” (ujung ayat 86).

Penolong sebenarnya di dalam kesusahan mereka hanyalah Tuhan yang didurhakai, siapa orang lain yang akan menolong?

Dan kalau kita pikirkan lagi, orang Yahudi di seluruh dunia di zaman sekarang hanyalah kira-kira 15 juta banyaknya, sedangkan kaum Muslimin menurut catantan setengah pencatat telah mencatat jumlah sampai 500 juta. Tersebar di seluruh tanah yang penting di Timur dan tersebar di mana –mana di dunia. Berapa kali pula mereka telah terpecah sesama sendiri ? bukanlah seketika orang islam di keluarkan dari Spanyol habis-habisan setelah kekalahan kerajaan Bani-Ahmar di Granada, tidak ada orang islam dari negri lain yang sungguh- sungguh membela? Bukanlah peperangan hebat terjadi 300 tahun yang lalu dinantara kerajaan islam Turki dengan Kerajaan Islam Persia (Iran) karena pertentangan mazhab pada lahirnya dan perebutan tanah kuasa pada batinnya ? Dan di saat-saat itu pulalah mulai berkembang penjajahan Negara-negara Barat kepada Negara-negara Islam.

Moga-moga ayat yang dimulai untuk Bani Israil ini yamg tinggal tertulis untuk kita, menjadi I’tibar dan perbandingan bagi kita Karena hokum perjalanan sejarah di dunia ini telah diatur oleh Allah dalam satu aturan yang adil, sebagaimana yang banyak ditulis oleh seorang ahli filsafat sejarah islam sendiri Allamah Ibnu Kaldun.

E. Al-Quran Surat Hud ayat 15-16

15. Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.

16. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan

Penafsirannya

Apa Yang Dituju Dalam Hidup ?

Apakah yang engkau tuju dalam kehidupan ini? Apakah ambisi yang memenuhu hatimu dalam perjuangan hidup itu? Apakah engkau menginginkan dunia dengan segala perhiasan ? jika engkau bersungguh-sungguh hendak mencapai dunia dengan perhiasan itu ; dengan pangkat yang tinggi, dengan mahkligai yang megah, dengan kekayaan yang berlimpah, dan kehormatan diri dan segala kelebihannya, semuanya itu akan engkau capai. Semuanya itu akan di berikan kepadamu.Tak usah khuwatir.

Tentu saja untuk mencapai dunia dengan perhiasan itu engkau menempuh jalanmu sendiri.’ Untuk mencapai tujuan , halal segala jalan.”Tentu engkau tenggang –menenggang dengan orang lain.yang engkau citakan itu akan tercapai!

“Mereka itulah orang-orang yang tidak akan ada untuk mereka (bahagian) di akhirat.” ( pangkal ayat 16).

Mengapa tidak? Orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat adalah orang yang menjadikan perjuangan dunia itu untuk akhirat. Orang yang sejak semula sudah meniatkan bahwa dunia yang di kejarnya itu ialah untuk dia mananam amal. Dan hasil amalnya itu disengajanya untuk diterimanya di akhirat. Adapun kalau yang di kejar hanya semata dunia, tidaklah ada bahagiaannya lagi di akhirat.

Berkata Qatadah: “Barang siapa yang tujuan , cita-cita dan niatnya hanya dunia, akan didapatnya ganjarannya di dunia ini juga. Kemudian setelah sampai ke hari akhirat, tidaklah segala perbuatannya itu dapat penghargaan apa-apa, walaupun pada lahir kelihatan baik. Tetapi kalou orang mu’min yang berbuat baik, di dunia dia dapat ganjaran dan di akhirat mendapat pahala.” Ditegaskan dalam surat 17 (al-isra’, ayat 18dan 19), Yaitu barang siapa yang ingin menerima ganjaran yang cepat (yaitu dunia) akan kami cepatkan untuknya apa yang kami khndaki. Kemudian itu kami sediakan jahannam untuk membakar, dalam keadaan tercela dan tersunggku. Tetapi barang siapa yang inginkan akhirat, lalu dia berusaha menempuh jalannya, dan dia pun beriman. Maka segala usaha mereka itu mendapat ucapan terimakasih dan syukur dari Tuhan.

F. Al-Quran Surat az-Zumar ayat 9

9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Penafsirannya

Allah SWT berfirman. “ Apakah orang yang tekun beribadat di waktu-waktu malam bersujud dan berdiri seraya hatinya penuh rasa takut dari azab akhirat di samping harapan memperoleh rahmat Tuhannya, apakah orang yang sikapnya demikian itu dapat disamakan dengan orang yang musyrik yang mengada-ngadakan sekutu bagi Allah? Tentu saja tidak sama dan jauh berbeda, sebagian juga orang yang mengetahui tidaklah sama kedudukannya di dunia maupun di akhirat, di hadapan sesame manusia ataupun di sisi Allah.

Diriwayatkan oleh Imam Abd bin Hamid dari Anas bin Malik ra bahkan Rasululah saw bertanya kepada seorang sahabat yang di jenguknya dalam keadaan sakit.yang artinya: “Bagaimana keadaanmu hari ini?” Tanya Rasululah saw.kepada sahabatnya yang sedang sakit mendekati ajalnya. Si sakit pun menjawab, “pikiranku terombang-ambing oleh rasa harap dan takut; mengharap rahmat Tuhan dan takut oleh siksa-Nya. Kemudian bersabda Rasululah saw. “Tidak seorang hamba Allah yang dalam hatinya terdapat dua perasaan itu, melainkan Allah akan memberikan apa di harapkan dan menyelamatkan dari apa yang di takuti.”

BAB III

KESIMPULAN

Dengan penafsiran para mufasir terhadap ayat di atas,penulis dapat simpulkan bahwa semua pembahaasan dari ayat tersebut mengarah kepada kehidupan akhirat dimana kebahagiaan akhirat tidak bisa didapat apabila manusia ketika hidup di dunia menolak atau tidak mengikuti ajakan Rasulullah untuk berkorban harta dan jiwa dalam menegakkan visi dan misi al-Islam.

Diayat pertama Allah menggambarkan orang yang hidup terus-menerus berusaha untuk memadamkan perjuangan Nabi Musa, oleh karena itu mereka tidak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat karena perbuatannya itu. Dan di ayat selanjutnya Allah menggambarkan orang-orang yang diajak berjuang tetapi mereka melalaikan ajakan tersebut. Mereka tidak akan mendapatkan kebahagiaan di dunia harta mereka yang mereka cari akan di tinggalkan sedangkan akhiratpun tidak mendapatkan apa-apa.

Intinya barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat maka mereka harus beramal yaitu dengan melanjutkan visi misi Rasulullah sampai Islam itu menang, dan tinggi tidak aka ada yang mengalahkan ketinggiannya itu.

“Ayat-ayat Tentang Risalah”

MAKALAH TAFSIR

Ayat-ayat Tentang Risalah

(Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Tafsir)

Disusun Oleh :

Ahmad Nursyamsi 208 203 297

Aam Nurhakim 208 203 276

Ai Nurfitri 208 203 303

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negri Sunan Gunung Jati Bandung

2009

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan puja hanya milik Allah Swt. Yang telah memberikan kemampuan menggoreskan gagasan dan pemikiran dengan baik sehingga bagaikan berlian yang penuh harga nilai dan makna yang membawa perubahan kepada kebaikan.Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad Saw. Sang pahlawan revolusioner Islam yang telah mengubah wajah dunia menuju peradaban yang bermartabat.

Penyusun bersyukur karena dengan kodrat dan irodat Allaw Swt. Penyusun dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Namun dengan kerendajan hati, keterbukaan tangan dan keluasan waktu “tak ada gading yang tek retak” oleh karena itu penyusun berterima kasih akan saran dan kritik sahabat pembaca yang budiman. Semoga memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhirnya semoga makalah ini dapat menjadgi lading amal shaleh yang diterima Allah Swt. Ilmu yang bermanfaat dan menjadi bagian dalam mewujudkan agen of change kea rah yang di ridhai Allah Swt. Amin.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Seorang mu’min yang mukhlis harus mengagungkan Rasul, yang ditulis oleh Allah Swt. Membawa agama yang hak Allah Swt telah memuliakannya, meninggikan namanya serta menuliskan namanya dalam lembaran-lembaran mulia.

Sesungguhnya Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw kepada kaum yang sombong lagi buruk akhlak. Setelah beliau diutus merendahkan orang-orang yang sombong dan durhaka, terjungkirlah berhala-berhala, belahlah istana kisra dan jatuhlah empat belas blok yang menandakan empat belas orang yang akan merajai, padamlah api Persia dan surutlah danau sawat tanpa terukur.

Nabi merupakan rahmat bagi seluruh alam, beliau mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi kalangan khawasdan awam. Allah Swt telah menggambarkan sifat-sifat nabi dengan gambaran yang agung da tidak ternilai.

1.2 Rumusan masalah

Maka dengan latar belakang diatas, maka pemakalah akan menjelaskan tentang:

1. Bagaimana penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an tentang risalah menurut para mufassir?

1.3 Tujuan penulisan

Untuk mengetahui secara terperinci tentang tafsiran-tafsiran ayat Al-Qur’an tentang risalah menurut para mufassir supaya orang yang awam menjadi tahu dan mengerti ayat-ayat tentang risalah tersebut.


BAB II

PEMBAHASAN

Risalah berasal dari bahasa arab yaitu arsala, yursilu, risalah yang artinya Utus. Dalam konteks ini, yang mengutus adalah Allah SWT dan utusannya adalah Nabi Muhammad. Beliau ditugaskan untuk menyebarkan ajaran yang hanya menyembah satu Tuhan, yaitu Allah. Bentuk ajarannya adalah Islam yang selalu diartikan dengan selamat, karena berasal dari kata salamah.

2.1 Surat At-Taubah [9] Ayat 33:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ {33}

Dialah yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”.

Menurut Tafsir al-Misbah:

Dalam rangka mewujudkan kehendak-Nya menyempurnakan cahaya-Nya itulah maka Dia yang telah mengutus Rasul-Nya yakni Nabi Muhammad Saw. dengan membawa petunjuk berupa penjelasan yang gambling dan bukti-bukti yang sangat jelas, membungkan siapa yang ragu dan dengan membawa agama yang benar untuk dimenangkan-Nya agama itu melalui rasulnya atas segala agama semuanya. Walaupun orang-orang musyrik yang keras kepala tidak menyukai kehadiran agama Allah itu apalagi kemenangannya, Allah tetap akan menyempurnakan cahaya-Nya tanpa menghiraukan keengganan mereka.

Firman-Nya (لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّه ِ ) untuk dimenangkannya segala agama tidak harus dipahami dalam arti menjadikan agama-Nya adalah agama yang paling banyak penganutnya, karena secara jelas terlihat bahwa penganut agama yang bertentangan dengan Islam jauh lebih banyak Allah telah menyatakan bahwa :

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ {116}

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.

Yang dimaksud dengan kemenangan tersebut adalah kemenangan hujjah dan argumentasinya. Dapat juga kalimat ini difahami dalam arti akan dimenangkannya agama Islam atas semua isme dan agama yang berbeda dengannya kelak sebelum datangnya kiamat, atau kemenangan atas agama-agama yang lain dalam arti ketetapan Allah Swt. menasahkan atau membatalkan berlakunya agama-agama yang lalu dengan kehadiran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw walaupun agama-agama itu disampaikan oleh rasul-rasul Allah. Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw bersabda “seandainya Musa as. hidup dia tidak dapat keuali mengikutiku” (HR. Ahmad).

Ayat ini ditutup dengan walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai sedang ayat sebelumnya ditutup dengan walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Gabungan keduanya mengisyaratkan bahwa yang berkeyakinan bahwa Uzair dan Al-Masih adalah putra Allah telah menggabung pada dirinya kekufuran dan kemusyrikan.

Menurut Tafsir Al-Maragi:

Allah menerangkan dalam ayat ini bagaimana Dia menyempurnakan cahayaNya:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ

Allah Ta’ala menjamin penyempurnaan cahaya ini dengan mengutus Rasul-Nya yang dilengkapi dengan petunjuk dan agama yang tidak akan bisa digantikan oleh agama lain, tidak pula akan bisa dibatalkan oleh sesuatu pun.

Allah menerangkan tujuan mengutus Muhammad sebagai penutup para Nabi yang membawa Ad-Dinul Haq:

لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ

Agar agama ini mengungguli seluruh agama dengan hujjah, keterangan, hidayah, pengetahuan, kepemimpinan, dan kekuasaan. Agama lain tidak memiliki seperti apa yang dimiliki oleh islam, berupa pengaruh spiritual, intelektual, material, social, dan politik.

وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

Meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai jika Islam mengungguli agama-agama lain. Allah telah menyifati mereka dengan syirik setelah menyifati mereka dengan kufur. Hal ini menunjukan, bahwa mereka meadukan kedua sifat itu : kafir dan mendustakan Rasul, serta syirik kepada Allah.

Kedua kalimat ini memberitahukan, bahwa penyempurnaan agama dan mengunggulkannya atas seluruh agama itu pasti terjadi, meski seluruh orang kafir yang musyrik dan non musyrik tidak menyukainya.

Ibnu Syeh mengemukakan : “Kemenangan agama yang hak atas agama-agama yang lainnya terjadi setahap demi setahap untuk selamanya. Kemenangan itu menjadi sempurna tatkala diturunkannya kembali Nabi Isa as. perihal ini terdapat dalam riwayat bahwasannya Nabi Muhammad Saw. bersabda “Pada masa Nabi Isa diturunkan (kembali), seluruh agama akan dibinasakannya kecuali agama Islam. “Pendapat lain mengemukakan bahwa kemenangan total agama yang hak itu terjadi tatkala datangnya Imam Almahdi. Pada saat itu tak ada seorang pun meliankan memeluk agama Islam serta patuh menjalankannya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan yang artinya :

“Persoalan akan semakin bertambah sulit, dunia semakin bertambah renta, manusia semakin kikir, dan kiamat tidak akan terjadi kecuali dalam keadaan manusia sudah amat jahat, dan tiada yang membantu Al-Mahdi kecuali ‘Isa bin Maryam. (H.R. Ibnu Majjah).

Maksudnya, tidak seorang pun yang menemani al-Mahdi kecuali ‘Isa bin Maryam, karena ‘Isa turun untuk membantu al-Mahdi dan menemaninya. Al-Mahdi yang merupakan ‘itrah (keturunan) Nabi Saw. adalah seorang imam yang adil. Dia bukan Nabi, bulan pula Rasul. Perbedaan antara al-mahdi dan ‘Isa bin Maryam adalah seorang Nabi yang diutus dan mendapat wahyu, sedangkan al-Mahdi bukanlah seorang Nabi dan tidak pula mendapatkan wahyu. ‘Isa merupakan penutup kekhilafahan secara mutlak. Keduanya berkhidmat kepada agama Islam yang merupakan sebaik-baiknya agama dan paling dicintai disisi Allah.

Seorang mu’min yang mukhlis harus mengagungkan Rasul, yang diutus Allah Swt. membawa agama yang hak. Allah Swt. telah memuliakannya, meninggikan namanya serta menuliskan namanya dalam lembaran-lembaran mulia.

2.2 Surat Al-Ahzab [33] Ayat 45-47:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا {45} وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا {46} وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ بِأَنَّ لَهُم مِّنَ اللهِ فَضْلاً كَبِيرًا {47}

“Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan [45] dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi [46] Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah [47]”.

Menurut Tafsir Al-Maragi:

Setelah Allah SWT. Menyebutkan tentang didikanNya terhadap nabiNya pada awal surat dan menyebutkan pula apa yang patut beliau lakukan terhadap keluarganya, maka disebutkan pula disini apa yang harus beliau lakukan terhadap makhluk seluruhnya.

Pada ayat ke-45 mengandung artian: Hai rasul, sesungguuhnya kami telah mengutus kamu sebagai saksi atas umat yang kepada mereka kami diutus. Kamu mengawasi perbuatan mereka dan kamu mengetahui perbuatan-perbuatan mereka, bahkan menanggung kesaksian atas apa yang mereka lakukan, berupa membenarkan atau mendustakan, dan segala perbuatan lainnya yang mereka lakukan pada hari kiamat. Dan kami mengutusmu sebagai pemberi kabar gembira kepada mereka, beripa surga jika membenarkan kamu dan melakukan ajaran yang kamu bawa pada mereka, dari sisi Tuhanmu, dan pemberi peringatan kepada mereka tentang nmeraka yang bakal mereka masuki, lalu mereka disana disiksa karena mendustakan kamu dan menyalahi apa yang kamu printahkan dan kamu cegah terhadap mereka.

Pada ayat ke-46: Dan juga sebagai penyeru seluruh makhluk untuk mengakui tentang keesaan Allah ta’ala dan segala yang wajib bagi Allah Swt, berupa sifat-sifat kesempurnaan,dan supaya mereka menyembah Allah yang mrlakukan pendekatan kepada-Nya dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan, juga sebagai obor yang terang. Dari kamulah orang-orang yang sesat itu mendapat peneraangan-penerangan dalam kegelapan-kegelapan, kebodohan dan kesesatan, dan cahayamu pula orang-orang yang mendapat petunjuk mengambil cahaya, sehingga mereka dapat menempuh jalan kebenaran dan kebahagiaan.

Ayat ke-47: Dan perhatikanlah keadaan umatmu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang mu’min, bahwa mereka akan mendapat karunia besar atas umat-umat lainnya. Karena mereka dapat merubah sistem masyarakat yang zalim dan tidak adil menjadi masyarakat yang adi dan teratur dan dapat memasukkan umat yang terlanjur berpakaian kejelekan kedalam golongan umat yang memimpin keteraturran umat manusia pada zaman yang baru.

2.3 Surat Ali-Imran [3] ayat: 164:

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ {164}

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Menurut Tafsir Al-Maragi:

Sungguh Rasul dilahirkan di negri mereka dan tumbuh dikalangan mereka [arab]. Kemudian selama hidupnya, mereka tidak pernah melihat beliau melakukan hal-hal yang buruk. Ia jujur dan dapat dipercaya, selalu mengajak ke jalan Allah dan berpaling dari keduniawian. Lalu bagaimana mungkin seseorang yang sifatnya demikian masih juga ada yang menuduh melakukan penggelapandan berkhianat.

Mengapa Rasul di utus dikalangan bangsa arab? Karena pada waktu itu dunia dikuasai oleh dua Negara adidaya: Persia dan Romawi, kemudian menyusul India dan Yunani. Negara-negara tersebut sangat tidak berkeprimanusiaan, segala sesuatu yang haram mereka halalkan, Khurafat berkembang pesat, pemikiran filsafat yang bebas, menyebabkan Negara-negara itu sangat terbelakang karena kemusyrikan mereka.

Sementara itu, di jazirah Arabia, bangsa Arab hidup dengan tenang, jauh dari bentuk keguncangan tersebut. Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat keserbabolehan, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Merka juga tidak memiliki kekuatan militer Romawi yang mendorong mereka melakukan ekspansi ke Negara-negara tetangga. Mereka tidak memiliki kemegahan filosofis dan dialektia Yunani yang menjerat mereka menjadi mangsa mitos dan khurafat.

Karakteristik mereka seperti bahan baku yang belum diolah dengan bahan lain. Hanya saja mereka tidak memiliki ma’rifat [pengetahuan] yang akan mengungkapkan jalan ke arah itu karena mereka hidup dalam kegelapan, kebodohan, dan alam fitrah pertama. Akibatnya mereka sesat, tidak menemukan nilai kemanusiaan tersebut.

Selajutnya mereka membunuh anak dengan dalih kemanusiaan tersebut. Dan kesucian, memusnahkan harta kekayaan dengan alasan kedermawanan, dan membangkitkan peperangan diantara mereka dengan alasan harga diri dan kepahlawanan.

Di samping itu, Jazirah Arab secara geografis terletak di antara umat-umat yang sedang dilanda pergolakan.

Ustadz Muhammad Mubarak mengatakan bahwa Jazirah Arabia terletak di antara dua peradaban. Pertama, peradaban Barat yang materialistis telah menyajikan suatu bentuk kemanusiaan yang tidak utuh. Kedua, peradaban spiritual penuh dengan khayalan di ujung timur.

Oleh karena itulah Rasulullah di utus kepada umat di Jazirah Arab yang posisi geografinya terletak dibagian tengah umat-umat yang ada di sekitarnya, sehingga memudahkan untuk berdakwah, dengan demikian mereka lebih mudah disembuhkan dan diarahakan.

Hikmah pilihan ini sama dengan hikmah dijadikannya Rasulullah seorang Ummi, tidak bisa menulis dan membaca agar manusia tidak ragu dengan kenabiannya, agar mereka tidak memilki banyak sebab keraguan terhadap kebenaran dakwahnya.

2.4 Surat al-Baqarah [2] ayat 129:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ {129}

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Sudah menjadi kebijaksanan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa dakwah islam dan media langsung untuk menerjemahkan kalam Allah dan penyampaiannya kepada kita. Jika kita kaji karakteristik bahasa, lalu kita bandingkan antara yang satu dengan yang lainnya, niscaya akan kita temukan bahwa bahasa Arab banyak memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Karena itu, sudah sepatutnya jika bahasa Arab dijadikan bahasa pertama bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.

Menurut Tafsir Ruhul Bayan:

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ , Yakni pada umat Islam dari anak cucu kami.

seorang Rasul dari kalangan mereka رَسُولاً مِّنْهُمْ yakni, dari diri mereka sendiri, karena kata “Utuslah kepada mereka” tidak mesti utusan itu berasal dari golongan mereka sendiri. Dan tidaklah diutus dari keturunan keduanya kecuali Nabi SAW. Beliaulah yang merupakan wujud diijabahnya do’a keduanya.

Diriwayatkan bahwasanya dikatakan kepada Ibrahim: “Telah dipenuhi do’amu dengan lahirnya Nabi akhir zaman”. Dalam hadits dikatakan:

“Sesungguhnnya aku telah ditulis pada sisi Allah sebagai Nabi akhir zaman. Sesungguhnya Adam mengandung kumpulan orang semenjak dalam adonannya. Aku akan memberitahukan kepadamu asal-usulku. Sesungguhnya aku merupakan [wujud pengabulan] do’a nenek moyangku Ibrahim a.s., sebagai kabar gembira yang dibawa oleh Isa, dan sebagai impian ibuku yang ketika akan melahirkanku bermimpi bahwa dari dirinya keluar cahaya menerangi gedung-gedung di Syam”. [al-Hadits]

yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِكَ , yakni yang harus membacakan dan menyampaikan dalil-dalil tauhid dan kenabian yang diwahyukan kepadanya.

Dan mengajarkan kepada mereka وَيُعَلِّمُهُمDan setaraf dengan potensi penalaran mereka.

Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ, Yakni al-Qur’an yang menyempurnakan dirinya dengan ilmu pengetahuan yang hak dan hukum-hukum syara’ yang dapat menyempurnakan jiwa mereka.

Ibnu Darid berkata: “Setiap kata yang kamu nasihatkan atau kamu serukan kepada kemuliaan, atau kamu mencegah perbuatan buruk dengan kata itu, maka kata itu disebut hikmah”

Serta menyucikan mereka وَيُزَكِّيهِمْ,Sambil mempertimbangkan kekuatanmereka dalam beramal, yakni mensucikan mereka dari kotoran syirik dan berbagai jenis kemaksiatan,baik kotor itu dikarenakan meninggalkan perbuatan wajib atau karena mengerjakan perbuatan munkar. Kemudian setelah Ibrahim menyampaikan ketiga do’a ini, ia mengakhirinya dengan pujian kepada Allah Ta’ala.

Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ, yang Memaksa dan Mengalahkan apa-apa yang dikehendaki-Nya.

lagi Maha Bijaksana الْحَكِيمُ, yang tidak mengerjakan apapun yang tidak berhikmah dan tidak mengandung kemaslahatan. Dia-lah Allah yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana dengan Dzat-Nya, dan segala perkara yang selain-Nya adalah hina dina dan bodoh.

BAB III

PENUTUP

Allah SWT. Menjamin penyempurnaan cahaya islam ini dengan mengutus Rasul-Nya yang melengkapi dengan petunjuk dan agama yang tidak akan bisa digantikan oleh agama lain, tidak pula akan bisa dibatalkan oleh sesuatu pun. Bahwa dalam pengutusan Rasul ada hikmah atau kemaslahatan dan akibat yang terpuji. Pewaris para rasul, yaitu wali, mempunyai andil besar dalam pensucian manusia, dan dalam meramaikan lahiriyah, menerangi batiniyag,dan mengatur alam.

Nabi merupakan rahmat bagi seluruh alam. Mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi kalangan khawas dan awam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qr’anul kariim

Al-Buruswi, Ismail Haqqi. Terjemah tafsir ruhul bayan Juz 1. CV. Dipenogoro, Bandung 1994.

Al-Buruswi, Ismail Haqqi. Terjemah tafsir ruhul bayan Juz IV. CV. Dipenogoro, Bandung 1994.

Al-Buruswi, Ismail Haqqi. Terjemah tafsir ruhul bayan Juz X. CV. Dipenogoro, Bandung 1994.

Shihab, Quraish, M. Tafsir al-Misbah, pesan, kesan dan kesenian al-Qur’an. Lentera hati, Jakarta 2002.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir al-Maragi 4, CV. Toha putra semarang, semarang.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir al-Maragi 10, CV. Toha putra semarang, semarang.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir al-Maragi 22, CV. Toha putra semarang, semarang.

Dr. Al-Buty, Muhammad Sa’id Ramadhan. Sirah Nabawiyah. Robbani Press, 1999