BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah filsafat layak diketengahkan agar generasi masa kini dan masa datang dapat memahami berbagai peristiwa besar dalam dunia pemikiran dan segala perubahannya sepanjang zaman.
Dimaklumi bahwa ilmu pada zaman dahulu merupakan milik orang-orang khaldan, penduduk irak, lantas pindah kepada orang-orang Mesir, berpindah lagi kepada orang-orang Yunani, dan berpindah lagi kepada orang-orang suryani, dan akhirnya sampai kepada orang-orang Arab. Ilmu yang diperoleh dari orang-orang Yunani itu diberi nama hikmah. Penekunan dan penguasaannya dinamakan filsafat, artinya mengutamakan dan mencintai hikmah terbesar. Orang yang menguasai ilmu iti disebut filosof.
Islam Adalah agama yang diridhoi oleh Alloh Swt dibandingkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, Islam pun mengatur mengatur segala aspek kehidupan baik hubungan antara makhluk dengan Alloh Swt, maupun makhluk dengan makhluk. Sebagaimana Alloh Swt berfirman :
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[1] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”[2]
Bagi kita bangsa
“PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA FILSAFAT YUNANI DAN FILSAFAT ISLAM”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.1.1. Apa yang dimaksud dengan filsafat dan Agama ?
1.1.2. Apa persamaan dan perbedaan antara filsafat yunani dan filsafat Islam?
1.1.3. Bagaimana pandangan agama Islam terhadap filsafat?
1.3 Metode Pembahasan
Pembahasan ini menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan buku-buku sumber yang berkaitan dengan filsafat dan agama, sekaligus menggunakan metode wawancara yaitu bertanya kepada yang lebih faham dengan pembahasan tersebut.
1.4 Sistematika Pembahasan
1.4.1 Bab I : Pembukaan yang meliputi; Latar belakang masalah, Rumusan masalah, metode pembahasan, dan sistematika pembahasan.
1.4.2 Bab II : Pengertian filsafat dan agama, persamaan dan perbedaan antara filsafat yunani dan filsafat Islam serta pandangan agama Islam terhadap filsafat.
1.4.3 Bab III : Simpulan dan saran.
BAB II
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA
FILSAFAT YUNANI DAN FILSAFAT ISLAM
2.1 Pengertian Filsafat dan Agama
Untuk membahas hubungan filsafat dengan agama dan peranannya terhadap agama, harus diselesaikan terlebih dahulu pengertian agama. Apa itu agama?
2.1.1 Pengertian Agama
Pengertian agama dapat melahirkan bermacam, macam definisi atau arti. Oleh karena itu supaya kita dapat mempunyai pengertian yang luas, perlu disajikan beberapa pengertian dari bermacam-bacam agama yang ada.
Memang untuk membuat definisi tentang agama kiranya tidak mudah, sebab definisi itu sangat ditentukan oleh sudut pandang dari masing-masing agama, maka tidak mengherankan kalau dapat menimbulkan bermacam-macam rumusan atau pengertian.
Tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa rumusan atau pengertian agama tidak perlu, sebab definisi itu mengandung suatu makna yang menjiwai hidup keagamaan itu. Yang mungkin belum atau tidak perlu ialah rumusan atau definisi yang berlaku dan diterima oleh semua agama, sebab setiap agama mempunyai sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Baiklah kita akan mencoba melihat bermacam-macam definisi atau pengertian tentang agama, mulai dari peristilahannya sampai kepada definisi agama.
Dalam bahasa sansekerta istilah “agama” berasal dari “a” artinya ke sini dan “gam” = gaan, go, gehen artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peeraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum-hukum, pendeknya apa saja yang turun-temurun dan ditentukan oleh adat-kebiasaan.
Kemudian di Kepulauan Nusantara mendapat arti seperti adat, kepercayaan, upacara, pandangan hidup, sopan santun. Sekarang kata agama atau igama/ugama hampir sama artinya dengan religi (Latin) atau din (Arab).[3]
Dalam Upadeca tertulis sebagai berikut :
“Agama itu sebenarnya berasal dari kata Sansekerta a dan am. A artinya tidak dan am artinya pergi `tetap di tempat`, `langgeng` diwariskan turun temurun.”[4] Tetapi arti dalam jiwa kerohaniannya agama itu bagi kita adalah dharma atau kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia. Agama adalah kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Syang Hyang Widhi, yang kekal abadi.
Menurut Islam, istilah agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat.[5]
Agama adalah peraturan Alloh Swt yang diturunkan-Nya kepada rosul-rosul-Nya yang telah lalu, yang berisi suruhan, larangan dan sebagainya yang wajib ditaati oleh umat manusia dan menjadi pedoman serta pegangan hidup, dan barangsiapa hidupnya tidak terkendalikan niscaya manusia itu akan terjerumus dan tidak akan menentu arah tujuannya, maka membahayakan kepada diri mereka sendiri.[6]
Agama ialah ajaran tentang kewajiban dan kepatuhan terhadap aturan, petunjuk, perintah, yang diberikan Alloh kepada manusia lewat utusan-utusan-Nya. Dan oleh rosul-rosul-Nya diajarkan kepada orang-orang dengan pendidikan dan tauladan.[7]
Berdasarkan pengertian agama di atas ternyata ma`na-ma`naya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Jadi menurut hemat penulis agama adalah memandang sangat tinggi nilai-nilai yang paling tinggi dan menggambarkan mereka dengan penuh kedekatan dan merasakan kehadiran-Nya, kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Tuhan, yang kekal abadi akan kebenaran yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia melalui aturan-aturan yang harus dikerjakan oleh seluruh umat manusia.
2.1.2 Pengertian Filsafat
Hatta mengemukakan pengertian filsafat itu lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu.[8] Nanti, apabila orang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu.[9]
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai pengertian filsafat di atas ternyata ma`na diantara keduanya tidak berbeda antara pendapat Hatta dan Langeveld. Jadi menurut hemat penulis pendapat keduanya itu benar. Akan tetapi, untuk menyesuaikan isi bab ini dengan tujuannya akan dicoba juga membahas pengertian filsafat secara singkat.
Filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani.[10] Kata Yunaninya ialah philosopia. Dalam bahasa Yunani kata philosopia merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan shopia; philo cinta, dalam arti yang luas yaitu: ingin, dan karena itu kemudian berusaha mencapai yang diinginkan itu; shopia artinya kebijakan, dalam artian yang mendalam artinya pandai. Jadi, menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan.[11] Dalam Encycopedia Britannica menjelaskan sebagai berikut; “………is devired from the composite Greek noun philosopia means the love of pursuit wisdom.”[12] Di dalam Encyclopedia of Phyloshopy ada penjelasan sebagai berikut : “The Creek world Sophia is ordinary translated as `wisdom`, and the compound philosophia, from wich philosophy derives, is translated as `the love of wisdom[13]. Abu bakar Atjeh juga mengutip seperti itu.
Filsafat adalah suatu jenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran belaka.[14] Hasbulah Bakri mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.[15] Plato menyatakan bahwa filsafat ialah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli, dan bagi aristoteles filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.[16] Dan bagi Al-Farabi filsafat ialah pengetahuan tentang alam ujud bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.[17] Phytagoras, orang yang mula-mula menggunakan kata filsafat, memberikan definisi filsafat sebagai the love for wisdom. Menurut Phytagoras , manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover of wisdom).[18] Sedangkan yang dimaksud olehnya dengan wisdom ialah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan.
Jadi menurut hemat penulis,berdasarkan kutipan itu dapatlah diketahui bahwa dari segi bahasa, filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan, atau keinginan untuk menjadi bijak. Akan tetapi, pengertian filsafat menurut istilah itu berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat diambil kesimpulam bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
2.1.2.1 Filsafat Islam
Sebagian para ahli filsafat, antara lain Ernest Renan, seorang filsuf Perancis, yang meninggal pada tahun 1892 M, seperti dikutif oleh Mushtafa Abdul Al-Raziq mengatakan bahwa bangsa Arab bukanlah suatu bangsa yang secara determinan mempunyai karakteristiksuka memperdalam pemikiran dan menciptakan penemuan-penemuan dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupannya, melainkan bangsa yang menyukai seni dan agama. Oleh sebab itu, adanya filsafat dalam Islam pada dasarnya bukanlah hasil cipta karya bangsa Arab sendiri. Yang sebenarnya terjadi, bangsa Arab mencoba mentransfer, mengomentari atau meringkas, bahkan ada yang mengkompromikan antara filsafat dan agama Islam, lalu dikatakannya, sebagai filsafat Islam.[19]
Muhammad al-Bahiy mengomentari pernyataan Ernest Renan dengan mengatakan bahwa:
“Filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Yunani (Greek) yang dimasukkan ke dalam bangsa Arab Muslim melalui transliterasi dan trasformasi.
Selanjutnya, Al-Bahiy mengatakan bahwa terdapat kelompok lain yang mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Arab merupakan suatu bangsa yang secara determinan mempunyai keistimewaan rasional seperti jenis bangsa manusia yang lain. Nilai rasionalitas itu dari keistimewaan inivatif yang secara konstan yang dinamakan adat.
Diantara mereka yang mengatakan seperti ini, yaitu Wilhelm Dilthey, seorang filsof Jerman yang mengatakan bahwa filsafat Islam adalah pemikiran bangsa Arab Muslimyang berkaitan dengan masalah alam fisik, metafisik, dan mengenai masalah manusia secara individual maupun social. Akan tetapi, pemikiran filsafat ini dibatasi oleh prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin agama Islam.
Bahkan Al-Ahwani menyatakan bahwa filsafat Islam adalah pembahasan secara filosofis berkaitan dengan permasalahan-permasalahan makrokosmos dan manusia atas dasar ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[21]
Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Wilhelm dilthey di depan, cakupan filsafat Islam lebih luas daripada dikatakan oleh Al-Ahwani sebab Dilthey justru menganggap bahwa kajian yang tercakup dalam filsafat Islam bukan hanya menyangkut pembahasan tentang makrokosmos dan manusia saja seperti yang dikatakan oleh Al-Ahwani, melainkan menyangkut masalah makrokosmos manusia dan alam metafisika. Pada kenyataanya, memang para filosof Muslim bukan hanya membahas secara filosofis permasalahan makrokosmos saja, melainkan membahas secara mendalam permasalahan manusia dan metafisikanya.
Di dalam membahas makrokosmos, para filosof Muslim selalu berpedoman pada ajaran Al-Qur-an dan Sunah-Hadts Nabi Muhammad Saw. H.G. Sarwan antara lain menyatakan bahwa tuhan tidak statis, tetapi dinamis berdasarkan ayat Al-Qur-an yang berbunyi:[22]
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”[23]
Padahal diantara filosof justru menganggap bahwa Prima Klausa (Tuhan) statis. Ibnu `Arabi dalam fushush al-Hikam, dengan teori wihdah al-wujudnya, menyatakan bahwa Alloh itu transenden dan imanen berangkat dari firman Alloh Swt:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir (imanen) dan Yang Bathin (transenden)[24]; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” [25]
Berkenaan dengan itu, pantaslah kalau T.J. De Boer (Tt. 29) seorang pemikir kebangsaan Belanda yang karyanya diterjemahkan oleh Edward R. Jones, BD, The history of philosophy in Islam menyatakan bahwa now the history of Phyloshophy in Islam is valuable, just because it sets forth the first attempt to appropriate the results of greek thinking, with greater comprehensiveness and freedom than in the early Christian dogmatic (kini dapat dinyatakan bahwa sejarah filsafat dalam Islam benar-benar ada sebab di situ terdapat seperangkat karya utama kaum Muslimin yang dapat dikatakan merupakan hasil karya kontinu sendiri sebagai hasil dari upaya secara bebas memahami pemikiran Yunani sehingga mampu manampakkan kebesaran yang komprehensif, yang berbeda dengan dogma-dogma Kristiani masa lalu). Pada bagian lain, De Boer (Tt:31) menyatakan bahwa By Muslim sciences and old or Non-Arab Sciences (pada abad ke-10 M oleh para sarjana Muslim, ilmu pengetahuan dibagi dalam ilmu-ilmu pengetahuan Arab dan ilmu-ilmu pengetahuan lam atau non-Arab). Secara umum, para filosof Yunani membahas permasalahan filsafat hanya bergantung pada kekuatan rasionalnya saja. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dapat disimak beberapa perbedaan dan persamaan para filosof Yunani dan para filosof Muslim.
2.2 Perbedaan dan Persamaan Antara Filsafat Yunani dan Filsafat Islam
Persamaan antara filsafat dan agama ialah masing-masing merupakan sumber nilai, terutama nilai-nilai etika. Perbedaannya lagi dalam hal ni, nilai-nilai etika filsafat merupakan priduk akal, sedangkan nilai-nilai agama dipercayai sebagai ditentukan oleh Tuhan. Pada agama budaya sesungguhnya ia masih produk akal juga. Pada agama langitlah baru dapat dikatakan sebagai ketentuan Tuhan, sepanjang dipercayai bahwa agama langit dibentuk oleh wahyu, sedangkan agama budaya dilahirkan oleh filsafat.
Apabila dibahas ajaran tiap agama, selalu kita temukan penentuan nilai-nilai baik dan buruk. Dalam Islam ini amat tegas digariskan. Terkenal sarinya “amar ma`ruf dan nahi munkar”, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan secara terperinci antara perbedaan dan persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam.
2.2.1 Perbedaan Antara Filsafat Yunani dan Filsafat Islam
Perbedaan filsafat Yunani dan filsafat Islam, antara lain:
a. Filsafat yang merupakan sumber pemikiran ilmiah Yunani hanya di dasarkan pada hipotesis-hipotesis dan pendapat-pendapat, sedangkan ilmu-ilmu Islam mendasarkan penyelidikan mereka atas dasar pengamatan dan percobaan.
b. Orang-orang Yunani menganggap bahwa pengetahuan indrawi berkedudukan lebih rendah daripada pengetahuan rasio. Jadi, pengetahuan indrawi kurang dapat diandalkan sehingga mereka tidak mendirikan laboratorium-laboratorium. Ilmuwan-ilmuwan Muslim tetap mengandalkan pemikiran rasional, namun mereka melakukan pembuktian melalui pengamatan dan percobaan. Oleh sebab itu, mereka mendirikan laboratorium-laboratorium.
c. Orang-orang Yunani hanya berfikir secara deduktif. Kaum muslimin diajari oleh Al-Qur-an supaya berfikir induktif dengan perintah dengan memperhatikan alam sekitarnya.
d. Ilmu-ilmu Yunani hanya sekadar sekumpulan informasi. Ilmu-ilmu kaum Muslimin merupakan keseluruhan pengetahuan yang berdasarkan hokum dan teori.
e. Yunani dalam jangka waktu 12 abad hanya melahirkan beberapa gelintir ilmuwan saja, sedangkan Islam hanya dengan 6 atau 7 abad saja telah melahirkan ribuan ilmuwan besar dan menjadi peletak dasar ilmu-ilmu modern.
f. Yunani hanya meninggalkan beberapa buah buku bernilai. Sedangkan Islam telah meninggalkan beberapa ribuan karya tulis besar yang menjadi standar kajian ilmuwan Eropa di Perguruan tinggi (universitas) mereka sampai kini.
2.2.2 Persamaan filsafat Yunani dan filsafat Islam
Persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam , antara lain:
a. Keduanya sama-sama menggunakan filsafat sebagai sarana untuk pengembangan pemikiran rasional.
b. Keduanya mengembangkan progresif peradabannya melalui kegiatan kajian-kajian ilmiah di perguruan-perguruan tinggi yang terkonsentrasi secara sistematis dan terencana.
c. Keduanya mengembangkan sejumlah peradabannya melalui pengembangan sejumlah perpustakaan-perpustakaan.
d. Keduanya menggunakan para ilmuwan spesialis sebagai pelaksana pengembangan keilmuannya.
e. Keduanya mengalami kemajuan ketika keduanya sangat menghargai karya-karya ilmuwan mereka sehingga para ilmuwan dengan tekunnya menggeluti keahliannya. Akan tetapi, keduanya mengalami kebangkrutan setelah keduanya tidak memperhatikan kesejahteraan para ilmuwannya sehingga para ilmuwan meninggalkan negeri keduanya.
Berdasarkan perbedaan dan persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam di atas, Islam terus berkembang. Namun menurut hemat penulis, kini setelah ilmu pengetahuan berkembang di Eropa, kaum Muslimin berbalik menjadi murid orang-orang Eropa. Hanya saying, ketika zaman keemasan Islam, kaum Muslimin menjadi murid-murid Yunani hanya mengambil nilai-nilai kebenaran Yunaninya saja sehingga kaum Muslimin tidak menjadi orang-orang Yunani meski telah mengadopsi ilmu-ilmu Yunani serta mengalami zaman kemajuan dan keemasan. Akan tetapi, kini kondisinya sangat berbeda. Banyak kaum Muslimin yang telah belajar ilmu-ilmu Barat kini telah menjadi orang-orang Barat. Tampaknya pada masa kini, sebagian para sarjana Muslim yang belajar di dunia Barat, setelah mereka kembali, bukan hanya ilmu-ilmu barat yang dibawanya, melainkan membawa juga budaya-budaya Barat. Sehingga budaya Barat berkembang di dunia Islam, yang secara kebetulan dianggap para tokoh Muslim ortodoks, terutama yang sangat tidak setuju kalau kaum Muslimin belajar dari dunia Barat menolak secara tegas semua produk barat.
2.3 Pandangan Agama Islam terhadap Filsafat
2.3.1 Konfrontasi Filsafat dan Agama
Dialog yang abadi terkandung dalam konfrontasi filsafat dan agama. Agama mengejek filsafat, bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu mencari kebenaran, bahwa setelah beribu-ribu tahun filsafat itu mencari kebenaran, yang ditemukannya hanya kebenaran semu. Tiap saat ia mengira mendapat kebenaran, untuk disangsikan, dikritik dan ditinggalkannya lagi, mencari kebenaran yang sesungguhnya. Lihat kami, kata agama. Kami percaya titik. Dengan demikian kami tidak membuang-buang waktuuntuk berfikir mencari kebenaran, yang setelah diperdapat ditinggalkan lagi, karena ternyata tidak benar. Ketahuilah, budi manusia itu nisbi. Ia tidak akan mungkin menangkap kebenaran yang sejati.
Filsafat menjawab dengan ejekan pula. Kami ingin kebenaran yang kami usahakan dengan tenaga kami sendiri. Kami tidak seperti anak kecil, yang mudah percaya saja tentang agama yang dikatakan kepadanya. Dan sesungguhnya kegembiraan itu bukan terletak pada kebenaran itu sendiri, tetapi dalam mencarinya.
Filsafat agama datang mengetengahi. Sebagai orang agama, filosof itu percaya, hasil penghayatan hatinya. Sebagai filosof, ia mempersoalkan kepercayaannya itu mengangkatnya kea lam budi, sehingga secara rasional dapat didudukkan.
2.3.2 Pertentangan Ulama dan Filsafat
Dengan latar belakang keterangan pada Peranggan 50 mudah kita mengerti kenapa filsafat Islam mendapat kritik dan perlawanan kalangan ulama-ulama (seperti Al-Ghazali) ada yang menolak filsafat Islam seluruhnya. Terhadap kritik dari perlawanan itu,filosof-filosof Islam menjawab, bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu, karena kedua-duanya memperkatakan prinsip-prinsip yang gaib, jauh dari ujud yang dihadapi. Tujuan filsafat senada dengan tujuan agama, kata mereka. Kedua-duanya bertujuan membina kebahagiaan melalui iman dan amal yang baik. Setelah khajanah ilmu dan filsafat Yunani diterjemahkan oleh kaum sarjana Islam, dinamakanlah ia ulum-ul-awail (ilmu-ilmu kuno). Lawannya ialah al-ulum-us Syari`iyyah (ilmu-ilmu Syara`). Segolongan ahlusunnah meragukan kebenaran ulum-ul-awail itu, bahkan mereka ini menolak tiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat.
Yang menjadi sasaran utama kemarahan ahlisunnah adalah metafisika atau Theodise Aristoteles. Pemikiran Aristoteles dipandang mereka berlawanan sama sekali dengan kepercayaan Islam. Ilmu mantik Aristoteles dipandang berbahaya bagi akidah, karena ilmu inilah yang mengendalikan pemikiran dalam filsafat. Ilmu matematika juga dikritik, karena dapat menyiapkan orang ke jalan filsafat.
Pertentangan antara filosof dan ulama (pertentangan ini bertambah tajam dengan pengaruh serangan Al-Ghajali terhadap filsafat), terutama di dunia Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar. Nasib demikian dialami oleh Ibnu Rusyd.
Dari ucapan Ibnus-Shalahtentang filsafat kita memperoleh gambaran, bgaimana pandangan kaum ulama umumnya dahulu terhadap fiksafat:
Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syari`ah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh Syetan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina daripada ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita.
Tentang mantiq, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedangkan jalan kepada keburukan adalah buruk pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syara`, tidak dibolehkan oleh sahabat, tabi`in, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta tokoh-tokoh umat mana Tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran-kotoran ilmu itu.
Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantic dalam hokum-hukum Syara` maka termasuk kemungkaran, dan untungnya hukum-hukumSyara`tidak memerlukan mantic sama sekali. Apa yang dikatakan oleh orang yang ahli logika tentang definisi dan argument-argumenuntuk logika maka adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu Syari`at yang benar pikirannya dari hal-hal tersebut. Syari`at dan ilmu-ilmunya telah lengkap, dan para ulamanya telah menyelami lautan kebenaran dan ketelitian, tanpa mantic, filsafat, dan ataupun pilosof-pilosof.
Barangsiapa mengira bahwa mempelajari ilmu-ilmu mantic dengan filsafat karena ada faedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk Syetan dan ditipunya.[26]
Demikianlah serangan Ibnus-Shalah terhadap filsafat yang besar pengaruhnya terhadap Ahlusunnah. Sebelum itu ulama-ulama terkenal, seperti Ibnu Hazm, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu il Qayyim telah pula melontarkan kritik-kritik yang pedas.
Sekalipun filsafat ditolak oleh ulama-ulama, namun dalam prakteknya tanpa disadari, ulama-ulama itu berfilsafat juga. Dalam membahas ajaran-ajaran Islam, ilmu mantic mau tidak mau dipergunakan. Ilmu kalam tidaklah lain filsafat ketuhanan. Dalam membina hokum dan metode-metodenya dan ilmu-ilmu Keislaman, ulama-ulama telah memasuki lapangan filsafat tanpa disengajanya.
Serangan-serangan gencar ulama itu dalam perjalanan sejarah makin lemah. Dalam peredaran masa dan perkembangan Islamdari satu negeri ke negeri lain, timbul masalah-masalah yang tidak langsung dijawab oleh Al-Qur-an dan Hadits, akal harus dipergunakan, ijtihad harus digerakan,. Makin dipelajari Al-Qur-an dan Hadits makin ternyata, bahwa Islam memberikan kebebasan berfikir. Kebebasan yang sehat ialah yang diatur oleh hikum. Kebebasan berfikir biasa, yang membentuk filsafat, diatur oleh logika. Kebebasan berfikir Islam, yang membentuk filsafat Islam, diatur oleh ilmu mantik dan diasaskan pada Al-Qur-an dan Sunah-Hadits. Berfikir yang diatur oleh ilmu mantic, berasaskan naqal adalah system berfikir Islam, yang diistilahkan ijtihad. Ijtihad dengan sistematis, radikal dan universal membentuk filsafat Islam. Tanpa pengasasan pada naqal filsafat itu bukan filsafat Isla. Pengasasan ini dapat membuktikan pada ulama bahwa filsafat itu bukanlah bujukan dan rayuan Syetan.
2.3.2.1 Ibnu Rusyd Membela Filsafat
Ibnu Rusyd[27] membela filsafat dengan menunjukan fungsi filsafat sebagai penyelidikan tentang alam ujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan yang Menciptakan-Nya. Al-Qur-an berkali-kali menyuruh demikian, Misalnya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”[28]
“…………..Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”[29]
Ibnu Rsyd menunjuk kepada nadhar (yandhuru fi, memikirkan tentang) dan i`tibar dalam kedua ayat itu. Kedua ayat dengan istilah-istilah itu menyuruh kepada qiyas, yakni pengambilan hukum yang belum diketahui dari sesuatu yang sudah diketahui. Dalam logika ini disebut silogisme. Kita harus mengarahkan pandangan kita kepada alam wujud dengan qiyas aqli. Karena itu penyelidikan filsafat adalah wajib. Kalau dari ayat Al-Hasyr itu seorang fakih menetapkan adanya qiyas syar`I (kias dalam fiqih), kenapa seorang filosof tidak berhak pula menetapkan qiyas aqli? Kalau dikatakan qiyas aqli bid`ah, bukanlah qiyas syar`I juga bid`ah? Kedua-duanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam.
Manakala pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara`, adalah ahli piker harus mempelajari ilmu mantic dan filsafat, sekalipun keduanya itu berasal dari luar Islam. Andai kata ada orang karena mempelajari filsafat menjadi sesat, itu bukanlah salahnya filsafat, tetapi karena orang itu tidak memiliki kemampuan untuk berfilsafat, atau sebab mempelajarinya tanpa guru. Diambil dari ibnu rasyd missal tentang minum air. Kalau ada orang tercekik lalu mati, adalah mati karena tercekik minum air suatu peristiwa yang kebetulan atau kekecualian, sedangkan mati karena haus adalah kelaziman.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa filsafat adalah karya seluruh umat manusia oleh semua angkatannya, karya mana dimulai buku-buku Yunani. Manakala lapangan ilmu dan teknik tidak mungkin diselesaikan oleh seorang diri semata-mata, apalagi filsafat sebagai induk dari segala ilmu yang ada, sehingga sudah sepatutnyalah kita mempelajari ilmu filsafat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
“Filsafat Islam ialah pandangan-pandangan filsafat Yunani (Greek) yang dimasukkan ke dalam bangsa Arab Muslim melalui transliterasi dan trasformasi.
Berdasarkan perbedaan dan persamaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam, Islam terus berkembang. Namun menurut hemat penulis, kini setelah ilmu pengetahuan berkembang di Eropa, kaum Muslimin berbalik menjadi murid orang-orang Eropa. Yang menjadi sasaran utama kemarahan ahlisunnah adalah metafisika atau Theodise Aristoteles. Pemikiran Aristoteles dipandang mereka berlawanan sama sekali dengan kepercayaan Islam. Ilmu mantik Aristoteles dipandang berbahaya bagi akidah, karena ilmu inilah yang mengendalikan pemikiran dalam filsafat. Ilmu matematika juga dikritik, karena dapat menyiapkan orang ke jalan filsafat.
Pertentangan antara filosof dan ulama (pertentangan ini bertambah tajam dengan pengaruh serangan Al-Ghajali terhadap filsafat), terutama di dunia Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar. Nasib demikian dialami oleh Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd membela filsafat dengan menunjukan fungsi filsafat sebagai penyelidikan tentang alam ujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan yang Menciptakan-Nya.
3.2 Saran
Makalah ini merupakan sebuah tugas yang sangat berat bagi penulis. Sehingga, dari semua pekerjaan tersebut tidak ada satupun menurut hati nurani penulis lepas dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulisan yang dijabarkan penulis memerlukan saran, koreksi, atau apapun namanya sangat penulis harapkan demi menyempurnakan pembuatan makalah ini.
[1] Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran
[2] Al-Qur-an
[3] AP Budiyono, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Pusat Pembinaan Katekis Visep,
[4] Parisadha Hindu Dharma, Upadeca, PT Upadaa Sastra, Denpasar, 1968, hlm. 8.
[5] Prof. KHM. Thahir Abdul Mu`in
[6] Hadijah Salim, Apa Arti Hidup, Al-Ma`arif,
[7] H. Agus Salim, Tauhid, Taqdir dan tawakal, tintamas,
[8] Hatta, 1966 : 1 : 3
[9] Langeveld, 1961 : 9
[10] Poedjawijatna 1974 : 1
[11] Windelband, 1958 I : 1
[12] Encyclopedia Britannica 1970 : 864
[13] Encyclopedia of Phylosophy, 1967 : 216
[14] Poejawijatna. 1974 : 11
[15] Hasbullah Bakry, 1971 : 11
[16] Plato
[17] Al-Farabi
[18] Phytagoras
[19] Mushtafa Abdu Al-Raziq, 1959: 9-14
[20] Muhammad Al-Bahiy, 1967: 21-22
[21] Al-Ahwani, 1993: 5
[22] Al-Qur-an
[23] Maksudnya: Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezki dan lain lain.
[24] Yang dimaksud dengan: Yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, Yang Akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, Yang Zhahir ialah, Yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya dan Yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal.
[25] Al-Qur-an
[26] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta : Bulan bintang, 1969) p. 27.
[27] Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198): pilosof Islam, pengulas Aristoteles, dokter pribadi Sultan Maroko. Filsafatnya mendapat tantangan yang seru dari gereja dan Thomisme. Dalam tahun 1277 dilarang oleh Bishop Paris. Juga berlawanan dengan ulama Islam karena ajarannya, bahwa alam itu qadim dan ada dua jenis kebenaran: filsafat dan agama, apa yang benar bagi filsafat, dapat salah menurut agama.
[28] Al-Qur-an
[29] Al-Qur-an
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Drs, MA, Filsafat Umum, Cet. I,
Ahmad Tafsir, Prof, Dr, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, PT Remaja Rosda Karya, Cet. XVI, Bandung, 2008 M.
Al-Qur-anul Karim.
Anonimous, Al-Qur-an dan Terjemahnya,
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Pertama, PT Bulan Bintang, Cet. 6,
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Ke Dua, PT Bulan Bintang, Cet. 5, Jakarta, 1992 M.
Irawan, S.Pd, M. Hum, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, Intelekia Pratama Press, Cet. IV, Bandung, 2008 M.
Louis O. Kattsolf, Prof, Dr, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Cet. VII, Yogyakarta, 1996 M.
Manaf, Mujahid Abdul, Drs, Sejarah Agama-Agama, Cet. II,
Mohammad Sabri, Drs. MA, Keberagamaan Yang Saling Menyapa, ITTAQA Press, Cet. I,
0 komentar:
Posting Komentar